Selasa, 02 Oktober 2007

Ehipassiko: Datanglah dan Buktikan Sendiri

Sering saya bertemu dengan teman-teman se-Dhamma yang sangat bangga terhadap Agama Buddha yang mereka anut. Berkali-kali saya mendengar mereka mengatakan dengan bangga bahwa hanya Agama Buddha sajalah yang tidak mengajarkan umatnya untuk semata-mata percaya, tetapi Agama Buddha mengajak umatnya untuk membukti­kan kebenaran ajaran Sang Buddha. Beberapa di antara mereka malah membanding-bandingkannya dengan agama lain yang katanya hanya berdasarkan atas dogma dan per­caya/iman saja.

Harus diakui bahwa apa yang mereka klaim tentang “ehipassiko” memang benar adanya, prinsip ehipassiko memang meminta kita untuk menganailsa dan menimbang-nimbang dengan nalar dan kebijaksanaan tentang suatu ajaran sebelum kita betul-betul menjalan­inya. Akan tetapi harus kita akui pula bahwa perkataan teman-teman saya tersebut juga mengandung unsur kesombongan dan penghinaan, yaitu memandang tinggi/superior agama sendiri (Agama Buddha) dan memandang rendah/inferior agama lain.

Saya coba merenungkan kejadian tersebut, tentu saja Sang Buddha mengatakan bahwa Buddha Dhamma memiliki sifat ehipassiko bukan untuk tujuan sekedar dibanding-ban­dingkan dengan ajaran lain, apalagi untuk disombong-sombongkan. Jika demikian, apa kira-kira yang Sang Buddha harapkan dengan mengatakan kepada pengikutnya bahwa Buddha Dhamma adalah bersifat ehipassiko?

Sebelum memberikan pandangan/jawaban saya atas pertanyaan tersebut, terlebih dahulu saya ingin menceritakan tentang pengalaman saya sendiri, yang pasti pernah dialami juga oleh pembaca sekalian, dan saya rasa cukup relevan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Beberapa kali saya membaca ulang sebuah buku yang sama dalam waktu yang berbeda, katakanlah saya sudah membaca buku “A” setahun yang lalu, lalu hari ini saya membaca buku “A” tersebut sekali lagi. Saya merasakan bahwa saat ini saya lebih mengerti isi buku “A” dibandingkan setahun yang lalu, saya juga merasa mendapatkan sesuatu yang lebih dari setahun yang lalu. Jika saya membacanya sekali lagi tahun depan, saya sangat yakin akan mendapatkan atau mengerti lebih tentang isi buku “A” dari pada apa yang saya mengerti atau dapatkan tahun ini.

Pengalaman tersebut bagi saya terasa aneh. Aneh karena buku yang saya baca adalah buku yang sama persis. Aneh karena sewaktu pertama kali membaca buku “A” saya merasa sudah mengerti, akan tetapi jika saya ulangi dalam jangka waktu yang agak lama saya bisa tambah mengerti dan tambah mengerti lagi dan demikian seterusnya.

Saya menduga ada beberapa kemungkinan penyebab mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pertama-tama saya menduga hal tersebut karena dengan bertambahnya waktu maka kemampuan berpikir/nalar saya semakin baik, namun saya kurang yakin dengan alasan ini. Lalu saya menduga lagi, mungkin karena konsentrasi saya semakin baik, lagi-lagi saya juga kurang meyakini alasan ini. Lalu saya sampai pada dugaan terakhir, yaitu pasti karena pengalaman saya telah bertambah sehingga memperluas wawasan dan kebijak­sanaan.

Saya sangat meyakini kesimpulan saya yang terakhir tersebut, akan tetapi kembali saya menjadi bertanya-tanya mengapa hanya dengan kurun waktu setahun saja wawasan dan kebijaksanaan saya bisa berubah sedemikian drastisnya? Padahal selama kurun waktu tersebut kehidupan saya berjalan biasa-biasa saja?

Lalu saya menyadari bahwa selama kurun waktu setahun itu tanpa saya sadari saya telah "mempraktekkan" apa yang disampaikan oleh Si Pengarang lewat isi buku tersebut. Sewaktu saya membaca buku tersebut, pencerapan saya bekerja dan merekam isi buku, lalu apa yang telah tercerap di dalam pikiran saya kemudian mempengaruhi perilaku dan cara berpirikir saya. Perilaku dan cara berpikir tersebut berinteraksi dalam kehidupan pri­badi saya yang pada akhirnya menimbulkan pengetahuan (insight) sehingga meluaskan wawasan dan kebijaksanaan saya. Sehingga, sewaktu saya membaca buku “A” untuk kedua kalinya, saya membacanya dengan wawasan dan kebijaksanaan yang dibentuk oleh isi buku “A” itu sendiri setahun yang lalu, dengan demikian saya menjadi lebih dapat memahami dan menyelami isi dari buku “A”.

Pengalaman tersebut membuka mata saya mengenai apa yang Sang Buddha maksudkan dengan “ehipassiko”. Saya berpendapat bahwa ehipassiko bukan sekedar mengotak-atik nalar untuk berusaha “membuktikan” kebenaran suatu ajaran (dalam hal ini Buddha Dhamma). Akan tetapi, “Membuktikan” harus diartikan sebagai “Mengamalkan” atau “Mempraktekkan” ajaran itu sendiri dan lalu melihat sendiri efek atau hasil atau buah dari ajaran yang telah dipraktekkan tersebut.

kita terlalu banyak berdebat, terlalu sering saling tafsir-menafsirkan, berspekulasi, berpu­tar-putar di tingkat konsep tentang Buddha Dhamma sampai-sampai kita sendiri lupa untuk mengamalkannya atau mempraktekkannya dalam kehidupan keseharian kita. Hal tersebut akhirnya tidak mendatangkan kita kebijaksanaan dan kebahagiaan, sebaliknya hal tersebut malah mendatangkan kebingungan, keraguan, salah pengertian dan kesom­bongan.

Saya pribadi telah berkenalan dengan Buddha Dhamma sekitar 28 tahun lamanya, namun saya baru benar-benar mempraktekkannya selama 2 tahun terakhir. Hanya dengan 2 tahun saja mempraktekkan Buddha Dhamma, saya telah mendapatkan jauh lebih banyak dibandingkan apa yang saya dapatkan selama 26 tahun sebelumnya. Sekalipun sebelum­nya telah banyak buku-buku yang telah saya baca dan diskusi-diskusi yang saya ikuti. Saya tidak mengatakan bahwa membaca, mendengar, ataupun berdebat tentang Dhamma tidak bermanfaat, tentu saja sangat bermanfaat, akan tetapi kemajuan yang kita dapat sangat minimal jika tanpa digenapi dengan mencoba untuk mengamalkannya (to bring it in to our everyday life).

Dengan mempraktekkan Buddha Dhamma di dalam keseharian kita, mata batin kita per­lahan-lahan akan semakin terbuka dan semakin jelas penglihatannya. Dengan semakin jelasnya penglihatan mata batin kita, maka pada akhirnya kita bisa melihat kebenaran yang terkandung di dalam Buddha Dhamma. Jika kita telah “melihat langsung”’ kebe­naran tersebut, maka barulah dapat dikatakan bahwa kita telah meng-“ehipassiko”-kan Buddha Dhamma.

Dengan melihat langsung melalui mata batin sendiri itulah, maka hilanglah semua kera­guan terhadap Buddha Dhamma. Dengan melihat sendiri secara langsung maka tidak ada perdebatan lagi tentang percaya atau tidak percaya. Urusan percaya atau tidak percaya menjadi tidak relevan, karena hal yang dibicarakan telah bisa kita lihat secara langsung dan terpapar jelas di depan mata batin kita. Oleh karena itu, jika kita belum bisa “melihat sendiri secara langsung” maka kita sendiri juga belum “ehipassiko”.

Jika kita belum “ehipassiko”, maka sebenarnya kita masih tercengkram oleh urusan “per­caya atau tidak percaya”. Sebelum kita bisa “ehipassiko” maka kita hanya bisa percaya alias iman alias Saddha kepada Buddha Dhamma. Jika kita sudah mau mengatakan bahwa agama kita adalah Agama Buddha, itu berarti kita sudah memiliki Saddha atau iman ter­hadap Buddha Dhamma. Saddha atau iman adalah awal yang baik untuk kita mulai meng­gali kebenaran mutlak seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha. Tanpa Saddha atau iman, kita tidak akan memiliki semangat untuk berjuang menggali kebenaran mutlak tersebut. Oleh karena itu marilah kita mengangkat status diri kita masing-masing dari level Saddha/Iman/Percaya ke level “Ehipassiko”.

Inilah jawaban pribadi saya terhadap pertanyaan yang saya lontarkan pada bagian awal tulisan ini: Apa kira-kira yang Sang Buddha harapkan dengan mengatakan kepada pengi­kutnya bahwa Buddha Dhamma adalah bersifat ehipassiko? Jawaban saya adalah: Sang Buddha ingin agar kita mempraktekkan/mengamalkan ajaran-Nya.

Lalu, apa saja yang telah dan akan kita lakukan untuk meng-“ehipassiko”-kan Buddha Dhamma bagi diri kita?

Selamat Berjuang!

(Jakarta, 3 Juli 2007)

Kamis, 27 September 2007

Harapanku

Ini posting pertamaku di Blog Menuju-Nirvana yang baru tercipta hari ini. Sebagaimana kelahiran seorang anak manusia, anakku sendiri, kelahiran blog ini sangat aku sukuri dan sejumput harapan membersit di dalam hati. Pada saat kelahiran anak-anakku, harapan-harapan itu hanya bermunculan dan beterbangan tanpa dapat kukenali dengan pasti apa sebenarnya harapan-harapan itu, yang aku tahu semua harapan itu pasti positif.

Untuk kelahiran blog ini, saya mencoba menuangkannya dalam bentuk tulisan semua harpan yang terbersit tersebut. Soalnya agak aneh kalau aku tidak melakukan hal itu untuk kelahiran sebuah blog, yaitu media yang fungsinya untuk mengkomunikasikan bersitan ide, pikiran, perasaan, dan sebagainya ke dalam bentuk-bentuk multimedia.

Harapanku tidak banyak, blog ini lahir untuk berbagi pikiran dan pandangan tentang buddhisme (ajaran Buddha Gautama) dengan cara yang tidak terlalu dogmatis, lebih kontemporer, logis, terkesan ringan, membumi, namun tetap serius dan menjunjung tinggi setiap kebenaran yang Sang Buddha Gautama sampaikan kepada pendengarnya.

Tidak banyak memang harapanku tersebut, tapi tetap tidak akan gampang untuk "menghidupkan" blog ini. Sebagai seorang karyawan waktuku terbatas, kalaupun sedang ada waktu kadang-kadang semangatku terbatas (terkuras oleh urusan kantor), kalaupun semangatku ada kadang-kadang ideku sedang kering-kerontang.... dst.... dst.... intinya, kalau blog ini nggak terupdate, jangan putus asa yah... I'll try my best dech....

Salam!